Showing posts with label Arti Lockdown. Show all posts
Showing posts with label Arti Lockdown. Show all posts
Monday, March 23, 2020
Arti Lockdown Di Wuhan,Bgm Di Indonesia
Lockdown di Wuhan.
*Lock Opo Tumon*
(23 March 2020)
*Oleh : Dahlan Iskan*
Milan dan Wuhan ternyata beda. Sama-sama di-lock down tapi tidak sama prakteknya.
Itu baru diketahui setelah 300 dokter dari Tiongkok tiba di Milan, Kamis petang lalu. Mereka diperbantukan di Italia yang kian kewalahan.
Di Wuhan sendiri sudah tidak ada pasien baru, Rabu lalu. Demikian juga Kamis keesokan harinya.
"Lock down di Milan ini ternyata longgar sekali," ujar dokter dari Tiongkok itu. "Kendaraan umum masih ada yang jalan. Masih ada orang yang terlihat di lalu-lalang," tambah dokter itu seperti dikutip di media di Tiongkok.
Bagi orang Italia mungkin itu sudah dianggap lock down yang mengejutkan. Yang sangat mengerikan. Kota sudah dinilai sebagai kota mati. Jalan-jalan sepi. Toko-toko tutup.
Tapi bukan seperti itu yang dimaksud lock down di Wuhan. Kendaraan umum sama sekali tidak diperbolehkan beroperasi. Bukan hanya dikurangi. Orang harus benar-benar berada di dalam rumah masing-masing.
Karena lock down di Italia sangat longgar tidak mengherankan setelah seminggu pun jumlah penderita baru Covid-19 masih ribuan. Bahkan masih terus di atas 3.000 setiap hari.
Demikian juga jumlah yang meninggal dunia. Sampai melebihi yang meninggal di Tiongkok (sudah termasuk Hongkong, Taiwan, dan Macau).
Lock down di Wuhan tidak seperti itu. Benar-benar lock down keras.
Saya pun minta gambaran konkrit dari jaringan saya di Tiongkok. Seperti apa sih lock down di Tiongkok itu.
Ternyata seperti ini :
Sejak 27 Februari lalu semua orang harus men-download satu apps di ponsel mereka. Nama apps itu: 健康宝 (baca: jian kang bao) Artinya : Sehat Itu Harta Karun _atau_ harta karun kesehatan
Dengan men-download apps tersebut semua orang terhubung dengan pusat kesehatan nasional.
Sejak itu di layar ponsel penduduk muncul status kesehatan mereka masing-masing: Hijau, Kuning, atau Merah.
Ponsel telah berfungsi pula sebagai kartu kesehatan.
Di masa lock down itu semua orang tidak boleh keluar rumah. Kecuali yang diizinkan oleh petugas. Petugas itu berdiri di mulut-mulut gang atau di jalan-jalan.
Bagi yang benar-benar punya urusan penting mereka harus menunjukkan ponsel ke petugas. Mereka harus menunjukkan status kesehatan masing-masing yang ada di layar ponsel.
Kalau layar ponsel mereka warna hijau berarti diizinkan. Tapi terbatas. Misalnya ke supermarket atau ke toko obat.
Tapi kalau layar di ponselnya warna kuning mereka tidak boleh ke mana-mana. Apalagi warna merah.
Dari mana asal status kesehatan itu? Siapa yang memberi status hijau, kuning, atau merah itu?
Semua itu berasal dari big data.
Ketika dulu Anda men-download apps 'Harta Karun' itu Anda harus menjawab banyak pertanyaan yang muncul di layar. Pilihan jawabannya sudah ada di bawah pertanyaan. Tinggal pilih.
Sebelum masuk ke bagian pertanyaan, Anda harus membaca deklarasi di situ: bahwa Anda sendiri yang menjawab, bukan orang lain.
Bahwa Anda mengisinya dengan jujur. Bahwa kalau tidak jujur bersedia menanggung konsekuensi hukumnya.
Lalu masuk ke pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaannya banyak: ada 16 soal.
Misalnya ke mana saja selama 14 hari terakhir. Apakah sedang batuk/demam/panas. Apakah pernah ke kantor selama 14 hati terakhir. Di kecamatan mana kantornya.
Dan banyak lagi.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak hanya muncul sekali waktu download.
Itu muncul setiap hari. Sekali lagi: setiap hari. Setiap jam 10.00. Dan setiap hari pula Anda harus menjawabnya --lalu send.
Semua jawaban itu masuk ke sentral data. Terpusat. Jadilah big data. Semua itu terkumpul dalam sebuah big data.
Big data-lah yang menjadi sumber. Untuk diproses. Lalu muncullah status hijau, kuning, atau merah di layar ponsel.
Di bagian atas layar ponsel itu juga terlihat hari, tanggal, bulan, tahun dan jam. Lalu ada foto wajah Anda.
Di bawah foto Anda itulah warna hijau, kuning, atau merah ditampilkan.
Dengan demikian ketika Anda menunjukkan layar ponsel ke petugas akan terlihat foto Anda, tanggal-hari-bulan-tahun-jam, dan status kesehatan Anda: hijau, kuning, atau merah.
"Apakah Anda sendiri yang memasang foto itu di layar apps tersebut?“ tanya saya.
"Bukan," jawabnya. "Waktu download Apps, saya diminta menghadapkan wajah ke kamera. Wajah saya terfoto. Langsung muncul di Apps itu," tambahnya.
Berarti big data berperan sangat besar dalam sistem lock down di Tiongkok. Tanpa big data tidak mungkin bisa terkontrol seketat itu.
Begitu modern sistem lock down di Tiongkok.
Pantas kalau dokter yang diperbantukan ke Milan menganggap yang terjadi di Italia itu adalah opo tumon. "Opo Tumon lock down kok begitu".
Ikatan Dokter Indonesia ( IDI) meminta agar pemerintah segera melakukan lockdown kalau tidak ingin penyebaran virus corona meluas. Saya tidak tahu lockdown seperti apa yang dimaksud oleh IDI. Lockdown itu sendiri artinya mengunci, dengan benar benar mengunci. Apanya yang dikunci? Kalau ingin meniru negara lain, negara mana? Apakah ingin meniru China yang lockdown Wuhan.
Baik saya gambarkan secara sederhana lockdown di Wuhan.
Ketika pemerintah pusat China mengumumkan Lockdown kota Wuhan, maka seluruh kekuasaan kota di bawah Militer. Semua stasiun kereta, bus dan termasuk bandara di segel oleh aparat. Artinya tidak boleh ada operasional angkutan. Semua tempat keramaian di segel. Setiap orang Wuhan di monitor oleh sistem IT melalui gadget mereka. Artinya mereka harus download aplikasi yang memungkinkan pemerintah bisa mononitor aktifitas mereka setiap detik.
Sistem IT ini yang menentukan status merah, kuning dan hijau mereka. Kalau merah, langsung petugas datang membawa mereka ke RS. Engga bisa nolak. Kalau kuning pemaksaan karantina diri di rumah dan di monitor setiap detik oleh petugas secara online. Tidak boleh keluar rumah. Setiap kawasan apartement di jaga oleh militer. Kalau hijau, dapat kompensasi keluar rumah. Aplikasi pada gadget itu jadi passport mereka kalau diperiksa oleh petugas. Setiap hari status itu bisa berubah. Tergantung hasil monitor.
Selama lockdown itu praktis semua aktifitas bisnis berhenti. Tidak ada perusahaan dan pabrik buka kecuali tempat tertentu yang di izinkan, dan itupun SOP nya sangat ketat dibawah pengawasan aparat. Bagaimana mereka dapatkan makanan? lagi lagi melalui online. Pemerintah pastikan semua makanan harganya tidak naik. Negara melibatkan semua institusi untuk menjamin logistik dan memastikan makanan sampai di rumah setiap orang. Apakah makanan itu gratis? tidak. Tetap harus bayar melalui aplikasi online. Setiap orang China punya akun di WeChat.
Pada waktu bersamaan pemerintah dengan cepat mengalih fungsikan semua gedung milik negara yang layak untuk dijadikan RS khusus Corona. Kurang? dengan cepat pemerintah membangun RS darurat disemua provinsi yang terpapar. Ribuan dokter Paramedis Militer dilibatkan langsung ke RS darurat tersebut. Semua manajemen berjalan secara IT sistem. Sekali komando di keluarkan oleh Presiden, sistem big data dan E-goverment China bekerja, sehingga koordinasi berlangsung cepat dan efisien. Semua real time. Tidak ada istilah terlambat dalam hitungan menit apalagi jam, atau hari. Karena mereka berhitung detik. Semua lembaga riset juga bahu membahu menemukan vaksin dan menentukan jenis obat yang tepat untuk kasus corona.
Nah bayangkan. Ketika kota Wuhan di lockdown, semua bisnis berhenti. Kehidupan sehari hari di bawah pengawasan militer. Orang dipaksa tidak keluar rumah. Ngeyel? urusannya dengan aparat. Dan semua itu tidak ada kompensasi dari negara berupa uang kepada rakyat Wuhan. Kok bisa? ya karena Wuhan itu 90% adalah kelas menengah, yang semua orang punya tabungan untuk bertahan hidup lebih dari tiga bulan. Tapi negara memberikan stimulus kepada semua perusahaan yang terkena dampak dari adanya Lockdown kota Wuhan tu. Konon katanya mencapai $174 billion atau setara dengan Rp. 2600 triliun. Itu tidak termasuk pemangkasan suku bunga. Sehingga ketika kota wuhan unlock, mesin ekonomi kembali berputar untuk terjadinya sustainable growth. Dan akhirnya mereka jadi pemenang.
Nah apakah lockdown seperti itu yang kita mau? Jelas engga ada satupun negara yang bisa.
Secara politik, ekonomi, budaya, agama tidak mendukung untuk bisa seperti China menghadapi wabah. Jerman yang hebat saja, hanya bisa mengeluarkan aturan melarang orang berkumpul lebih dari 2 orang. Semua negara di dunia jadi keliatan kampungan kalau melihat cara china memerangi wabah. Benar benar kampungan.
Saya sendiri setuju kalau kita meniru jerman saja walau dibilang kampungan